Invasi rumah judi ke dunia sepak bola bukanlah hal baru, hal ini menjadi paradoks taruhan sepak bola. Keberadaannya di dalam game merupakan berkah sekaligus kutukan.
Sepak bola dan perjudian adalah dua entitas yang sangat berbeda. Ini sebuah paradoks. Melibatkan aktivitas bermain game dalam pertandingan sebelas lawan sebelas ibarat menanamkan sel kanker ke dalam organ vital manusia.
Sepak bola adalah olahraga yang mengedepankan fair play dan sportivitas. Sebaliknya, perjudian sering kali melemahkan dua aspek perjudian yang paling mendasar.
Hal ini tidak pernah gagal untuk melemahkan banyak aspek dari “Permainan Indah”. Namun di sisi lain, perjudian juga memberikan kontribusi besar terhadap eksistensi klub dalam kompetisi.
Realita Paradoks Taruhan Sepak Bola
Penetrasi rumah judi di rumput hijau sudah tidak asing lagi. Faktanya, di Inggris, perusahaan perjudian telah mengikuti jejak mereka sejak tahun 1923. Kontribusi paling nyata dan krusial adalah sponsorship sejumlah klub profesional di tingkat nasional.
Bagi pendukung klub Liga Inggris, melihat logo rumah judi yang terpampang di jersey tim adalah bagian dari rutinitasnya. Memang benar, setengah dari tim yang berkompetisi di liga top Inggris musim 2020 disponsori oleh perusahaan perjudian di seluruh dunia.
Dan bukan itu saja. Faktanya, 17 dari 24 klub divisi Championship juga memiliki logo serupa yang menghiasi jerseynya. Dengan kata lain, 27 dari 44 alias 61 persen klub divisi dua Inggris menjalin kerja sama sponsorship dengan sejumlah perusahaan perjudian.
Invasi besar-besaran perjudian di Liga Premier berarti mereka memiliki hak eksklusif untuk tampil tidak hanya di kaos pemain, tetapi di semua acara klub, di papan reklame tepi lapangan, di papan skor, dan bahkan di nama stadion. Selain itu, ada lebih dari 9.000 rumah judi di negara ini.
Hal ini menegaskan bahwa perjudian adalah elemen perjudian yang ada di mana-mana dan disiarkan ke jutaan mata di Inggris dan di seluruh dunia. Kehadiran rumah judi secara sistematis menciptakan ekosistem dan pengaruh yang beracun di luar lapangan, terutama bagi generasi penerus.
Asumsi ini sepenuhnya beralasan mengingat temuan audit Komisi Perjudian pada tahun 2018, yang mencatat bahwa 55.000 anak berusia 11 hingga 18 tahun di Inggris mengalami kecanduan perjudian.
Selain itu, sekitar 430.000 orang telah menjadi gamer sejati. Jumlah ini meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah fenomena yang pada akhirnya bertanggung jawab atas kemerosotan finansial masyarakat.
Selanjutnya, The Guardian melaporkan bahwa hingga £14,4 miliar dana publik menguap dari meja permainan Inggris antara April 2017 dan Maret 2018, meningkat sebesar £1,6 miliar dibandingkan tahun sebelumnya.
Jumlah yang terlalu fantastis hingga berhasil menjadikannya salah satu kekuatan ekonomi paling dominan di sepakbola. Penetrasi perusahaan perjudian, dalam bentuk kemitraan sponsorship, menyumbang sekitar £70 juta per musim ke Liga Premier saja.
Hubungan ini sudah terjalin lama sehingga klub-klub terkesan dimanjakan dengan uang “haram” yang jumlahnya tidak sedikit. Kini sulit bagi mereka untuk melepaskan diri dari cengkeraman rumah judi.
Klub-klub yang bersaing di Liga Premier dan Kejuaraan bisa kehilangan pendapatan hingga £110 juta per tahun jika pemerintah Inggris melarang rumah judi mensponsori mereka.
Peraturan perjudian
Keberadaan rumah judi sebagai sponsor klub memang menuai kontroversi. Kontroversi ini disebabkan oleh otoritas Inggris yang sedang dalam proses meninjau ulang peraturan tentang perjudian.
Sejak tahun 2005, perjudian tampaknya diizinkan tanpa batasan apa pun, padahal sebelumnya sangat dibatasi. Salah satu penyebab revisi ini adalah kasus kecanduan judi yang semakin meningkat di negara ini. Selain itu, kemajuan teknologi juga membuat perjudian lebih mudah diakses.
Pada awal tahun 2020, House of Lords merekomendasikan tidak hanya pelarangan sponsorship kaus tim sepak bola pada tahun 2023, tetapi juga pelarangan semua iklan perjudian dalam bentuk apa pun, di semua aktivitas olahraga.
Jika rekomendasi tersebut diterima dan diberlakukan, tim Inggris akan memiliki waktu tiga tahun untuk segera berinovasi dan menemukan opsi pendanaan lain di luar dunia perjudian.
Otoritas sepak bola global juga mengatur perjudian dalam Pasal 26 Kode Etik FIFA yang melarang keterlibatan pemain, wasit, pelatih, dan pejabat klub dalam perjudian uang yang terkait dengan sepak bola, baik langsung maupun tidak langsung. Meski demikian, rumah judi tidak dilarang mensponsori klub.
Sementara di Indonesia sendiri. Aturan larangan rumah judi baik online maupun offline untuk mensponsori klub sepak bola baru muncul pada Februari 2020 melalui surat bernomor 103/LIB/II/2020.
Aturan tersebut sebenarnya sudah sangat terlambat mengingat sudah banyak klub-klub tanah air yang menjalin kerja sama dengan kasino, misalnya Pusamania Borneo FC (Fun88), Persikabo 1973 (Sbotop), dan PSMS Medan (M88).
Selain itu, terlalu banyak skandal pengaturan skor yang melibatkan petinggi PSSI, wasit, dan pesepakbola, termasuk pemain.
Keterlibatan pemain dalam permainan untung-untungan
Meski disahkan sebagai sponsor, segala jenis taruhan sepak bola dilarang bagi pemain, seperti kasus Kieran Trippier yang terungkap baru-baru ini (24/12/2020).
Trippier terbukti mendapatkan keuntungan finansial selama transfernya dari Tottenham ke Atlético Madrid pada musim panas 2019 dengan bertaruh di pasar perjudian. Ia mengambil keputusan mengejutkan dengan menerima tawaran tim Diego Simeone senilai £20 juta.
Bek kanan tim nasional Inggris telah resmi dijatuhi larangan bermain selama 10 minggu dan denda £70.000 oleh FA karena melanggar aturan perjudian.
Joey Barton, Daniel Sturridge, Andros Townsend dan sejumlah pemain Liga Premier lainnya juga terkena larangan dan denda.
Sebelumnya, otoritas sepak bola Italia dan Turki telah melarang rumah judi menjadi sponsor klub. La Liga juga diperkirakan akan mengambil kebijakan serupa pada musim depan.
Dampak perjudian terhadap publik sepak bola
Dampak perjudian tidak hanya terbatas pada Ratu Elizabeth saja, tapi juga Indonesia. Liga Premier adalah acara yang paling banyak ditonton di dunia. Menurut laporan FIFA, Liga Inggris diikuti 4,7 miliar orang, termasuk di Indonesia.
Artinya, logo rumah judi di jersey para pemainnya juga digandrungi masyarakat Indonesia. Logo yang sama juga muncul di berbagai konsol game sepak bola. Perjudian telah mengiringi pertumbuhan dan perkembangan generasi baru tanah air.
Kemunculan logo perusahaan perjudian secara bersamaan akan menanamkan di otak anak gagasan bahwa perjudian adalah praktik yang normal. Apalagi logo tersebut erat kaitannya dengan jersey tim kesayangannya. Hal ini didasarkan pada peraturan perjudian yang sangat permisif di negara ini sebelum dilarang.
Kita patut khawatir bahwa normalisasi perjudian di dunia sepak bola dapat mempengaruhi generasi muda hingga berisiko menjadi kecanduan perjudian.
Meningkatnya perjudian di masyarakat dapat merugikan sistem sosial. Paradoksnya, para pemain Republik ini kebanyakan berasal dari kalangan menengah ke bawah, yang kondisi perekonomiannya sangat pas-pasan, bahkan kurang mampu.
Untuk mencoba peruntungan, uang di dompet berangsur-angsur menguap. Barangnya sudah terjual. Rumah dan tanah digadaikan. Sayangnya, anak dan istri juga dijadikan objek perjudian untuk melunasi hutang akibat kerugian perjudian.Fenomena itu nyata!
Mereka yang terjerumus dalam pengaruh perjudian umumnya menggunakan segala cara untuk memiliki modal untuk bermain. Dengan harapan untuk menang dan meraup keuntungan yang besar – namun harapan tersebut seringkali sia-sia.
Pada tahun 2018, WHO mengklasifikasikan gangguan mental yang berkaitan dengan kecanduan perilaku, yaitu gaming disorder, klasifikasi ini termasuk dalam International Statistical Classification of Diseases and Associated Health Problems (ICD) yang diterapkan pada tahun 2022.
Alasan WHO memasukkan kecanduan ke dalam klasifikasi gangguan jiwa adalah karena dapat memberikan dampak negatif yang besar. Kecanduan judi dapat mempengaruhi berbagai aspek manusia, baik biologis, psikologis, ekonomi, fisik atau sosial.
Selain menimbulkan permasalahan sosial seperti kemiskinan, perceraian, dan mengusung budaya malas, kebiasaan berjudi juga bersifat kriminogenik atau memicu kejahatan lainnya.
Aktivitas perjudian menimbulkan ancaman nyata terhadap integritas pesepakbola dan masyarakat pada umumnya. Hadiah kartu merah adalah solusi paling logis untuk memerangi berbagai bentuk perjudian di lapangan.